Selasa, 10 April 2012

YANG UNIK DARI DESA PESEDAHAN SAAT RAINAN KEDASA , KRAMA LANANG BAWA ATURAN PEMUJA KRAMA ISTRI TIDAK BOLEH NGIRING

YANG UNIK DARI DESA PESEDAHAN SAAT RAINAN KEDASA ,
KRAMA LANANG BAWA ATURAN PEMUJA KRAMA ISTRI TIDAK BOLEH NGIRING


Amlapura - Bertepatan ppanglong apisan 13 Sasih Kedasa Saniscara Umanis Medangkungan tanggal 7-4-2012 berlangsung upacara piodalan – pujawali di Pura Petilaan Desa Pakraman Pesedahan, yang diempon oleh sekitar 450 KK krama buluangkep Desa Adat Murwa. Rerainan Kedasa yang disebut krama setempat berlangsung cukup unik, dimana pengiring sesuhunan Ida Betara Ayu Batur yang berstana di Pura tersebut hanya boleh diiring oleh krama lanang dan diwajibkan ngaturang banten pemuja yang dibawa langsung kehadapan beliau. Banten pemuja yang dihaturkan berisi dua buah tumpeng, telur, saur-kacang, pisang, sanganan dan buah-buahan, dihaturkan krama lanang saat piodaslan. Setelah persembahyangan bersama dilakukan ritual Nyaagang dengan menikmati surudan banten pemuja dihadapan Ida Sesuhunan sebagai simbol turunnya anugrah amerta bagi umat. Untuk Paci Kedasa tahun ini disinkrunkan dengan pelaksanaan Karya Nubung Daging yang puncaknya jatuh pada tanggal 4 April 2012 dalam tingkatan madyaning utama menggunakan lantaran Kebo metanduk emas.
Semetara krama istri saat piodalan berlangsung siang hari tidak boleh ikut tedun ngiring kecuali krama roban daa atau STT dan turut serta membuat sarana upakara. Saat pujawawli juga diwajibkan mempersembahkan tarian Rejang Lilit yang penarinya wanita yang belum menstruasi alias dari kalangan anak-anak TK. Tari Rejang Lilit selalu dipentaskan atau ditampilkan setiap kali Ida Betara Ayu Batur tedun ke jaba manakala ada Pujawali di Pura Puseh saat sasih kelima maupun di Pura Petilaan saat sasih Kedasa. Mitos ditabukannya krama istri buluangkep memedek turut prosesi pujawali menurut keyakinan umat setempat dikawatirkan terjadi keributan seperti yang pernah terjadi, mengingat sesuhunan Ida Betara Ayu Batur tidak berkenan krama istri menghaturkan sesaji.
Menurut penuturan Jro Mangku Ayu I Nengah Suparmi, Ida Betara Ayu Batur distanakan di Pura Petilaan atau Pura Desa Desa Adat / Pakraman Pesedahan sudah diwarisi sejak zaman dahulu dari leluhur sebelumnya, sehingga dari tahun ketahun terus dilakukan pujawali/petirtaan tanpa pernah “ngempakin” atau tidak terlaksana. Paci Kedasa memang dikenal piit karena tidak boleh diikuti para krama istri saat Ida Betara tedun ke jaba saat piodalan. Alasannya memang sejauh ini belum diketahui pasti. Namun secara mitos karena Ida Betara Ayu yang disungsung itu adalah disimbolkan sebagai dewi wanita yang cantik rupawan namun memiliki cacat daun telinga. Saat hendak katuran nyejer ke jaba Ida menangis. Untuk menghibur beliau dilakukan persembahan tari rejang lilit yang ditarikan kalangan anak-anak. Saat upacara pun yang mengambil waktu dua hari yakni rainan kedasa dan ngajeng keesokan harinya dimana krama melaksanakan upacara di rumah masing-masing, dengan menghaturkan sesaji kuskus injin dan ketan serta urab madam merah putih kepada Ida Betara kawitan. Dikatakan pula, bagi krama yang sedang sakit jika makan urab kedasa bisa berakibat kambuh (sakitnya bertambah parah). Tetapi jika orang sehat memakannya akan menjadi obat memperoleh anugrah keselamatan.
Penghulu Desa Pakraman Pesedahan Gusti Mangku Ginatra mengatakan, upacara paci kedasa memang dikenal piit, dimana krama saat membawa aturan banten Pemuja harus dibawa kaum pria saja hingga kehadapan beliau dan saat pulangnya memperoleh ajang berupa urab barak-putih untuk digunakan mesambeh-sambeh dan mesegeh dirumah sebelum ida katuran ke jaba atau sebelum piodalan dimulai.
Dalam pelaksanaan pengaci piodalan juga dihaturkan tarian pendet, rejang dewa yang disertai dengan acara nunas lungsuran berupa megibung dengan didahului melaksanakan persembahyangan bersama. Pada sore hari menjelang Ida Betara mesineb/mantuk juga dilakukan aturan pengayar sebelum Ida kairing mantuk ke Pura Penyimpenan.

Tidak ada komentar: