Kamis, 05 Mei 2011

TENGANAN DAUH TUKAD, DESA PAKRAMAN DENGAN DUA ALIRAN RITUAL

05 / 05 / 2011 http://rgsfmradio.blogspot.com

TENGANAN DAUH TUKAD, DESA PAKRAMAN DENGAN DUA ALIRAN RITUAL

Amlapura - Salah satu desa kuno yang tidak kalah unik yang ada di Karangasem adalah Desa Adat Tenganan Dauh Tukad. Desa yang terletak di kaki bukit Pegilihan Tenganan Dauh Tukad dapat ditempuh lewat jalan mulus berhotmix sekitar 2,5 Km dari jalan raya menuju Desa Baliaga Tenganan Pagringsingan atau sekitar 23 Km dari Kota Amlapura. Desa Adat yang memiliki keunikan dalam perjalanan sejarah peradabannya, kini tumbuh menjadi Desa Wisata dengan lingkungan desa yang asri, tradisional dan eksotik. Salah satu atraksi sakral yang dimiliki adalah Megeret Pandan (Perang Pandan), Metekrok, Tuun Medaa dan Meteruna setiap pelaksanaan Aci Usabha Sambah tepat pada Sasih Kelima menurut perhitungan wariga setempat. 


Sebagaimana diketahui tradisi prosesi upacara Megeret Pandan, Nulak Damar, Daa Teruna Nyambah, Metekrok, Anyunan adalah merupakan budaya ritual aliran Indra (tradisi pra Hindhu Majapahit) yang ada di Desa Baliaga Tenganan Pagringsingan, namun di Desa Tenganan Dauh Tukad budaya itu juga ada, menyatu dan bercampur dengan budaya adat setempat yang nota bene beraliran ciwa (tradisi Hindhu Majapahit). Menurut Buku Monografi Desa Pakraman Tenganan Dauh Tukad karangan budayawan Prof. DR. I Gede Parimartha, MA, keberadaan cikap bakal warga Tenganan Dauh Tukad dalam pelaksanaan adat budaya menjalankan agama sebagian terpengaruh tradisi pra Hindhu Majapaht dan sebagian lagi menganut pengaruh tradisi Hindhu Majapahit seperti penggunaan pendeta dalam upacara agama serta prosesi upacara Pitra Yadnya menggunakan bade (wadah) untuk mengusung sawa/jenazah. Pengaruh Hindhu Majapahit juga nampak dari struktur prajuru adat dengan adanya posisi Penghulu Desa yang dihormati dan dihargai oleh krama desa serta tidak membedakan soroh, luluh menyatu menjadi satu kesatuan trah. Desa Adat Tenganan Dauh Tukad juga memiliki kaitan sejarah dengan desa tetangga lainnya seperti Desa Tenganan Pesedahan (nama dalam prasasti desa) dan Desa Tenganan Pagringsingan (desa Baliaga yang sudah dikenal), yang tercatat dalam lontar Babad Rusak De Dukuh dan Gegaduhan Desa Tenganan Pesedahan yang menyebut ada tiga komplek Tenganan yakni Tenganan Dauh Tukad, Tenganan Pesedahan dan Tenganan Pagringsingan, menyatu dalam satu kiblat penyungsungan untuk mepahayu di Pura Rambut Petung yang ada di wilayah Desa Adat Pesedahan sekarang.

Dikisahkan sekitar abad 17 saat kejayaan I Gusti Ngurah Sidemen, penguasa tanah perdikan setempat Dukuh Mengku yang sakti tinggal di Tenganan Dauh Tukad memiliki satu putra, atas titah Dalem Gelgel putranya diminta untuk menjadi juru kurung. Namun Dukuh Mengku menolak karena merasa hanya memiliki satu putra yang akan meneruskan keturunannya. Atas penolakan itulah Dalem Gelgel marah dan mengutus I Gusti Ngurah Sidemen (Mangku Basukih) menjalankan perintah Raja. Bersama I Gusti Ngurah Abiantimbul, I Gusti Ngurah Sidemen didukung prajurit menyerang Dukuh Mengku dari arah selatan. Banyak rakyat Dukuh Mengku tewas dalam perang hebat hingga di wilayah tegal penangsaran (nama dalam babad) Lapangan Pakuwon Desa Pesedahan sekarang. Rakyat Dukuh Mengku akhirnya kalah, Dukuh Mengku pun berfikir lalu membersihkan diri berpamitan seraya tangkil menyembah ke Pura Rambut Tiding, mohon pamit kepada Ida Sesuhunan untuk melakukan perang puputan. Usai sembahyang lalu berpakaian serba putih turun ketimur melewati Tukad Pesedahan tiba di Lapangan Pakuwon (disebut tegal panangsaran dalam babad ) itulah, Dukuh Mengku direbut oleh I Gusti Ngurah Sidemen dan I Gusti Ngurah Abiantimbul hingga tewas. Sisa rakyat Dukuh Mengku lari tunggang langgang mengungsi ke bukit sebelah barat dan berbagai arah. Kekalahan Dukuh Mengku ini setelah dilaporkan kepada Dalem Gelgel, lalu diperintahkan agar krama yang masih ada diberikan hak istimewa tidak dikenakan cecamputan kepada penduduk di Dauh Tukad dan tidak mengambil istri untuk raja, yang selanjutnya diteruskan oleh trah raja yang memerintah di Karangasem, tradisi itupun berlangsung sampai sekarang. Setelah itu Raja Dalem Gelgel memerintah I Gusti Ngurah Tenganan untuk menata dan membangun desa lokasi peperangan di Tenganan Pesedahan karena teringat akan kewajiban Mapahayu di Pura Rambut Petung sebagai salah satu penyungsungan Raja yang perlu diperhatikan. Sedangkan di Dauh Tukad diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Sidemen anak I Made Mencur bernama I Made Bendesa ditugaskan melaksanakan pemerintahan dan aci-aci di Pura-Pura setempat termasuk di Pura Petung.

Hingga kini sejarah Tenganan Dauh Tukad masih memiliki hubungan dengan Desa Adat Pekarangan, Pesedahan dan Tenganan Pagringsingan, baik dalam prosesi upacara maupun hubungan antar pakraman (penyamabrayaan). Budaya campuran yang ada di Desa Pakraman Ttenganan Dauh Tukad atas pengaruh dua masa berbeda pra Majapahit dan Masa majapahit masih terpelihara hingga kini. Bahkan untuk perhitungan waktu sasih menggunakan perhitunagn waktu seperti yang berlaku di Desa Baliaga Tenganan Pagringsingan. Atas percampuran budaya dan peradaaban penduduk asli dan pendatang juga menimbulkan akulturasi kebudayaan yang unik yang diwarisi hingga kini dalam bentuk berbagai prosesi upacara agama. Desa Tenganan Dauh Tukad memiliki 125 KK 700 jiwa terdiri 1 Banjar Dinas dengan Dua Tempek yakni Tempek Kaler dan Kelod. Sejumlah Pura Kahyangan Pura Pura kahyangan desa yang baru selesai direhab dan diperbaiki yakni Pura bale Agung, Pura Dalem Majapahit, Pura Dalem Setra, Pura Pegilihan dan Pura Puseh. 

Kelian Desa Adat/Pakraman Tenganan Dauh Tukad Putu Ardana, mengatakan, Upacara Ngejot antara Teruna dan Daa di misalnya, hingga kini masih lestasi dilaksanakan dalam ritual prosesi upacara agama terkait Paci Usaba Sambah di Desa setempat. Sebagai bagian dari prosesi Usabe Sambah upacara Teruna-Daa Ngejot dipusatkan di Pura Bale Agung, dengan prosesi sebelumnya dilakukan di masing-masing subak atau pusat aktifitas upacara Teruna maupun Daa.

Pura Bale Agung yang menstanakan pemujan terhadap Dewa Brahma, sebagai simbol dewa pencipta alam semesta. Prosesi Usabe Sambah misalnya digelar selama 15 hari diawali Nedunang Ida Betara, Nulak Damar, Penampahan, Metekrok, Daa Nyambah, Mekare-kare (Perang Pandan), Ngepik, Perejangan dan Nyineb. Dalam rangkaian upacara Ngepik dilaksanakan prosesi upacara adat Sekaa Teruna yang disebut Teruna-Daa Ngejot sebagai simbol menanamkan nilai pendidikan, kegotong-royongan dan manyama braya agar bisa hidup harmonis berdampingan saling menolong antara tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ngejot juga wujud membagi rezeki yang diperoleh untuk dirasakan bersama-sama. Dengan menggunakan pakaian adat khas Tenganan Dauh Tukad, Teruna-Daa mengikuti prosesi upacara secara khusuk diselingi suasana riang gembira saling bersorak tatkala antara Teruna – Daa melakoni prosesi Ngejot, sambil mengucapkan pesan-pesan dari perwakilan masing-masing.

Prosesi ngejot antara Teruna dan Daa diawali oleh Sekaa Teruna ngejot membawakan seperangkat jotan berisi bunga harum, minyak wangi yang mengandung makna menghormati dan menghargai wanita dengan simbol pemberian bunga dan wewangian yang menjadi kesenangan wanita. Sebaliknya pihak Daa memberikan jotan berupa aneka macam jajan khas Bali yang bertempat di Bale Agung dan dibalas kembali oleh Sekaa Teruna dengan jotan berupa nasi, sate dan bermacam olahan masakan Bali. Sebagai simbol kebersamaan upacara Teruna-Daa Ngejot diakhiri dengan makan bersama (Magibung) di halaman Pura Bale Agung, dimana terjadi interaksi sosial pergaulan antara Teruna-Daa yang mempererat persatuan dan kekerabatan. 

Ditambahkan, Desa Adat Pakraman Tenganan Dauh Tukad sebagai bagian dari Desa Dinas Tenganan Pagringsingan menganut dua aliran kepercayan yakni aliran Indra yang menyerupai prosesi upacara di Desa Baliage Tenganan Pageringsingan, serta aliran Ciwa, melakukan prosesi upacara agama sebagaimana layaknya Desa Adat lain di Bali. Pertemuan aliran Indra dan Ciwa di Tenganan Dauh Tukad menimbulkan adanya keunikan didalam prosesi ritual keagamannya, antara lain adanya atraksi ritual mekare-kare (perang pandan) sebagaimana yang ada di Desa Adat Tenganan Pagringsingan serta patokan 15 hari untuk Purnama –Tilem.

Tidak ada komentar: