Senin, 27 Agustus 2012

MMDP MENYANGGA KEAJEGAN DESA ADAT, CERAHKAN UMAT

27 / 08 / 2012

MMDP
MENYANGGA KEAJEGAN DESA ADAT, CERAHKAN UMAT


Amlapura - Keberadaan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Karangasem merupakan implementasi dari amanat Perda No. 3 tahun 2001 yang telah diubah dengan Perda 3 Tahun 2005, tentang Desa Pakraman didalamnya mengatur tentang nilai-nilai tradisional masyarakat Bali yang dipelihara dan dikembambangkan oleh Desa Adat / Desa Pakraman.
Ketua MMDP / Bendesa Madya Karangasem I Wayan Arta Dipa, SH, MH di Amlapura belum lama ini  dalam acara jumpa pers mengatakan, sebagai suatu lembaga tradisional yang berkarakter religius,  Desa Pakraman di bentuk melalui pencerminan dan pembakuan nilai-nilai  ajaran Agama Hindu dalam kehidupan sosial dikalangan masyarakat adat di Bali. Karakteristik Sosial Religius itu ditandai dengan adanya Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Desa / Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura-pura tersebut pada umumnya ada pada setiap Desa Adat / Desa Pakraman ( PHDI Bali, 1994 : 5). Dalam implementasi nilai-nilai agama Hindu di Bali, dikenal adanya landasan konseptual yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan (vertical), hubungan manusia dengan sesamanya (horisontal), dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya ( sub. Alternasi), yang dikenal dengan Tri Hita Karana.
Diakatakan, lembaga Majelis Madya adalah wahana untuk pengabdian sebagai wujud dharma bakti dan swadharma demi kepentingan umat dan keajegan agama Hidhu melalui lembaga Desa Pakraman. Sesuai aturan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga menjadi kewajiban lembaga majelis madya melaksanakan paruman setiap lima tahun sekali, untuk memilih kepengurusan baru. Keberadaan Desa Pakraman di Bali  kini banyak hendak ditiru komunitas Hindu di luar Bali, yang perlu mendapatkan perhatian lembaga umat di Bali yang dinilai menjadi kiblat Hindu luar Bali untuk meningkatkan pembinaan umat. Selain itu aspek-aspek adat dan hukum adat seperti kasus kesepekang,  juga perlu memperoleh kajian lembaga umat agar umat tidak lagi  hanya berlandaskan mule keto, dapet keto dan sube keto didalam membuat keputusan,   namun seharusnya berlandaskan sastra agama. Demikian pula dalam konteks desa, kala, patra selalu terkait dengan aspek filosofis, sosiologis dan historis tidak bisa hanya diambil salah satunya saja.
Bendesa Madya yang juga Plt Sekkab Karangasem menyebut,  Majelis Madya dewasa ini dihadapkan pada kompleksitas tantangan Desa Pakraman yang makin terhimpit berbagai persoalan di bidang  parahyangan, pawongan maupun palemahan. Salah satu hal yang wajib mendapatkan perhatian adalah di bidang palemahan seperti perbatasan antara desa adat atau antar desa, yang kerap kali memicu konflik,  karena adanya kepentingan. Sedangkan misi MMDP antara lain  sosialisasai keberadaan lembaga agar mampu menjadi bagian dari desa adat,  pencerahan masalah adat,  memperjelas sumber-sumber sastra agama sehingga tidak lagi menganut gugon tuwon yang membabi buta.  Sementar itu, bidang lain yang juga bakal menjadi pusat perhatiannya adalah masalah Alih Aksara Panca Yadnya. Kendati banyak lontar-lontar yang sudah diterjemahkan namun perlu dilakukan pemilahan dan penyesuaian dengan dresta yang ada di Karangasem serta  dilakukan pemetaan kewilayahan sebagai bentuk perhatian kepada desa-desa adat yang meliputi 190 desa adat dan 605 banjar adat. Banyaknya desa-desa tua yang makin  didesak modernisasi di Karangasem juga menjadi perhatian, melalui perkuatan secara kelembagaan dan payung sastra agama sehingga nilai-nilai purwa dresta tidak tergerus oleh nilai modernisasi tanpa mempertimbangkan aspek spirit dan nisklala yang menjiwai keberadaan desa-desa tua tersebut. Melalui kegiatan  pencerahan yang dilaksanakan   menyasar pemahaman umat tentang hakekat desa tua sebagai aset kekhasan dan keunikan yang dimiliki yang harus  dilestarikan, namun tetap mengakomodir perkembangan krama itu sendiri.
Diharapkan, MMDP senantiasa tidak menganggap remeh penanganan berbagai  masalah yang kini dihadapi desa adat/pakraman  mengingat desa adat merupakan lembaga benteng terakhir yang harus diselamatkan dari kehancuran tatanan Hindu. Permasalahan yang kini melilit banyak  desa adat harus  dapat diretas secara arif dan  bijaksana, sesuai alur dan metode penyelesaian yang dimiliki dresta di Bali,   agar jangan sampai menjadi gejolak.  Jika terlambat menghantsipasi gempuran terhadap eksistensi Bali bisa membuat Bali  hancur. Upaya itu harus dilakukan melalui upaya  terus membangun kesadaran umat memandang  betapa pentingnya ketahanan hindhu ditingkat desa pakraman diwujudkan, dalam rangka menghadapi ancaman bahaya yang kian merangsek. MMDP berupaya bersikap  susatya dengan umat dan bakti dengan Widhi.
Ia merinci, selama ini MMDP telah melakukan mediasi terhadap sejumlah kasus-kasus desa adat seperti  Perasi, Culik, Selumbung  secara pro aktif turun ke bawah.  Peran MMDP sangat urgen dalam konteks tersebut sehingga perlu menjadi bagian dari tim pemerintah yang sudah melakukan mediasi, kendati belum berhasil sempurna.  Munculnya trend permasalahan di bidang palemahan karena kini dipandang memiliki nilai yang menggiurkan sehingga mengundang banyak kepentingan untuk saling berebut sehingga menyeret lembaga adat di dalam permasalahan tersebut. Oleh karenanya ditempuh langkah  sosialisasi yang sudah memasuki tahap  kedua setelah sukses pada tahun 2011 dengan   mengedepankan segi pemberdayaan untuk memahami posisi desa adat berikut aturan awig-awignya terkait dengan posisi NKRI.
Dikatakan, di samping itu dalam menangani permasalahan umat MMDP juga sudah turun di Desa Adat Menanga, Bunutan Abang untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi. Dengan pendekatan yang berlandaskan agama dan bersifat motivasi kekeluargan melalui konsep paras-paros sarpanaya salulung sabayantaka, sagilik saguluk briuk sepanggul, akhirnya persoalan dan masalah dapat diredam krama adat pun mau rujuk dan melakukan rekonsiliasi untuk saling menerima dan memaafkan. Dengan metode  terjun langsung ke lapangan dengan pendekatan personal sebelumnya,  diharapkan pertikaian di kalangan internal adat bisa dieleminir untuk kembali dengan pandangan baru loyal kepada satu lembaga yakni desa adat demi bakti ring Ida Sesuhunan. Diyakini  manakala semua umat, nayaka prajuru adat berkomunikasi secara jernih tanpa kepentingan dan tulus, dapat dipastikan permasalahan yang diahadapi dapat diatasi dengan baik.
Ditekankan, inventarisasi kasus-kasus adat yang terjadi di Desa Adat Menanga, Bunutan,  Sega, Perasi, Culik ,Selumbung dan lainnya, secara umum mengemuka kasus di bidang palemahan. Maraknya kasus-kasus adat bermunculan di tataran publik Bali tidak perlu digeneralisir untuk memvonis ketahanan  adat keropos, namun harus dilihat kasus perkasus. Desa adat yang ada sesungguhnya  masih kuat dan semakin kokoh dalam menghadapi gelombang arus globalisasi yang membawa umat kedalam fenomena alur perjalanan kehidupan yang senantiasa berhadapan antara dua kutub nilai religi dan duniawi.    Namun berkat akar hindu yang telah tertanam begitu membumi oleh nenek moyang khususnya pada komunitas Hindu di Bali, hingga kini masih dirasakan tetap lestari. Kendati nilai-nilai universal baik agama, hukum, HAM dan kehidupan sosial politik, ekonomi maupun budaya kian merangsek pola kehidupan Hindu Bali yang lebih mengedepankan ritualitas dalam menjalankan dharma agama. Permasalahan yang dihadapi desa adat /pakraman bisa diselesaikan dengan terus mengupayakan konsep  Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha dibumikan dikalangan pemimpin dalam arti luas, baik pemerintah, agama, adat serta non formal lainnya. Diyakini jika melakukan mediasi secara tulus kepada desa adat / pakraman maka segala permasalahan adat bisa dituntaskan, dengan catatan semua pemimpin di semua lini bergerak bersama.
Hadir dalam acara sosialisasi media tersebut Bidang Prahyangan Ida Wayan Jelantik Oyo, Bidang Palemahan Dodita Sandiyoga, bidang Pawongan Drs. I Wayan Astika, M.Si,  I Nyoman Winata, Sekretaris I Gede Krisna Adi Widana dan I Nyoman Siki Ngurah.